Kata Malam Purnama: Harapan atau Ratapan?
Ketika kau ingin bersua, tapi pintu menujunya tak terbuka.
Teruntuk
dirimu, yang telah melalui ujung usiamu Disaat jiwaku bergejolak tuk sekedar
menatapmu walau sesaat
Untukmu, yang kini memeluk bumi
Bercumbu bersama Ilahi
Ku tak mampu membendung rindu, iri pada mereka yang telah berjumpa dan bercanda ria, denganmu
Ku tahu kesempatan itu bukan untukku, tapi ku harus bagaimana?
Hatiku sirna ditelan namanya
Ku tahu kala dekat kan membebankan, tapi jauh justru
menggelisahkan
Itu bukan pilihan
Ku buang dalam diriku segala keraguan
Karena cinta takkan bisa bersanding dengan kebimbangan
Aku hidup terasing, bintang gemintang mengacuhkan dan
menertawakan dalam kegelapan
Ku duduk dalam hitam, berselimut debu karyamu Terpenjara
dalam jiwa, terlena dalam rasa
Dihimpit kesedihan, merana sendirian
Andai kita berjumpa, ku hindari kilau matamu
Menunduk teguh ke kakimu yang lebih mulia dari wajahku
Kalian takkan pernah mengerti, cinta ini bersemi bahkan
sebelum kami sadari
Jauh sebelum pandangan kami beradu, jiwa kami telah menyatu
padu
Jangan tanya siapa dia, menyebut namanya hanya kan sebabkan
jatuhnya air mata.
Tidak kurasakan nafsu saat mengingatmu, hanya namamu dan
halu akan rencana-rencana yang ingin ku ukir bersamamu.
Aku takkan pernah tau apakah engkau mengenalku
Aku hanya mengagumi mu
Dalam ruang yang berada pada titik buta
Jauh disana, tak mampu dijangkau siapa saja
Hanya kita
Cinta tetap berkuasa di singgasana jiwa
Kebahagiaan dan kesedihan sama indahnya, karena cinta tak
mengenal kata sia-sia
Berjanjilah pada keagungan cinta, agar sayap jiwamu dapat
terbang leluasa
Melayanglah bersama cinta
Laksana anak panah menuju
sasarannya
Cinta tak pernah membelenggu, karena cinta itu pembebas dari
simbol-simbol keberadaan
Biarkan kenangan itu menjadi mata air kebahagiaan, tempat
istirahat musafir cinta yang kehausan


Tidak ada komentar:
Posting Komentar